Sabtu, 06 April 2013

Aliran Eksistensialisme


Aliran Eksistensialisme

A.    Pendahuluan


Filsafat hadir dari suatu krisis. Krisis berarti penemuan. Apabila terjadi krisis, biasanya orang meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari suatu krisis ke krisis lain. Ini berarti manusia berfilsafat meninjau kembali dirinya. Dalam filsafat eksistensi, manusia tegas-tegas dijadikan tema sentral.1
Wujud manusia yang dikaji oleh aliran eksistensialisme bukanlah esensi yang kita rasionalisasikan, namun eksistensinya, karena realitas manusia pada masa kini dihempas oleh berbagai krisis dan dikelilingi oleh berbagai persoalan.2 
Sifat materialisme ternyata merupakan dorongan lahirnya aliran eksistensialisme. Maksud dari eksistensi yaitu cara seseorang berada di dunia. Kata “berada” pada manusia tidak sama dengan “beradanya” pohon atau batu. Manusia berada di dunia, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Materialisme memandang keberadaan manusia sama dengan keberadaan benda lain, seperti batu, tanah, pohon dan lain-lain. Artinya manusia hanya sebagai materi yang tidak lebih dari benda-benda lain di luar manusia. Di sinilah letak perbedaan tajam antara materialisme dengan eksistensialisme.3
Aliran eksistensialisme menyatakan, cara berada manusia dengan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, ayam juga berada di dunia. Akan tetapi, cara berada keduanya tidaklah sama. Manusia berada di dunia, ia mengalami beradanya di dunia, manusia menyadari dirinya berada di dunia, menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapi.
Di manakah letak kesalahan materialisme dalam pandangan eksistensialisme? Rene Le Senne mengatakan, bahwa kesalahan materialisme ada pada prisip detotalisasi, artinya mengingkari manusia sebagai wujud dari keseluruhan. Pandangan materialisme belum mencakup arti manusia secara keseluruhan.    

B.            Pembahasan

Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi yang berasal dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya “ada”. Ia dapat meragukan segala sesuatu, tapi satu hal yang pasti yaitu bahwa dirinya “ada”. Dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu di sekitarnya dihubungkan dengan dirinya, seperti mejaku, kursiku, temanku dan lain sebagainya. Dalam dunia, manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatan. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang di luar dirinya.
Bereksistensi seperti ini oleh Heidegger disebut Daisein, yang berasal dari kata “Da” (di sana) dan “Sein” (berada), sehingga kata ini berarti berada di sana. Dalam hal ini ada empat tokoh pemikiran eksistensialisme, yaitu: pemikiran Martin Heidegger, Jean-Paul Satre, Karl Jasper dan Gabriel Marcel.
Eksistensialisme terbagi kepada dua cabang utama, yaitu:
1.                  Eksestensialisme murni yaitu: bebas dari keyakinan   yang diwariskan

2.                  Eksistensialisme terikat yaitu: yang berhubungan dengan suatu keyakinan tertentu.4


Filsafat eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Filsafat lain berhungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia dan nilai. Di sisi lain, eksistensialisme memberi individu suatu jalan berfikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, dan apa yang benar untuk saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia, dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.5
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Keirkegaard (Denmark, 1813-1855). Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar: Apa kehidupan manusia ? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis” (berada) dari manusia.6  
Sebagai tokoh eksistensialisme, Keirkegaard mengatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individu” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan. Dengan demikian, Keirkegaard mengenalkan istilah “eksistensi”. Hanya manusia yang mampu bereksistensi. Pengaruh Keirkegaard belum tampak ketika ia masih hidup, karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark.
Pada akhir abad ke-19 karya-karyanya mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang paling penting untuk filsafat abad ke-20 yang disebut eksistensialisme. Karena itulah Keirkegaard sering disebut bapak filsafat eksistensialisme.7
Gerakan eksistensialisme mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia. Cara beradanya manusia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, yang satu tidak berinteraksi dengan yang lainnya. Sedangkan manusia, ia bersama dengan orang lain dan bersama dengan benda-benda di sekitarnya. Benda-benda itu akan menjadi berarti karena manusia.
Analisa filsafat eksistensialisme membedakan cara berada manusia dengan cara berada benda dengan menggunakan istilah bahwa benda-benda itu “berada”, sedangkan manusia “ber-eksistensi”.8
Karakteristik umum yang disepakati oleh para filsuf eksistensialisme adalah:
1.                     Esistensi mendahului Esensi
 Pengertian in bermakna bahwa manusia ditemukan, setelah itu ia mengakui sisi keistimewaan dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu mereka menyebutkan bahwa manusia bukanlah eksistensi yang sempurna, bahkan manusia adalah tendensi (kecendrungan), usaha keras dan rencana. Tegasnya bahwa kaum eksistensialis dinamakan dengan “pendakian”.

2.                     Eksistensi Manusia
Eksistensi yang diperhatikan oleh filsafat eksistensialisme pada tingkat pertama adalah eksistensi manusia. Lawannya adalah zat manusia, yaitu tegasnya wujud alam semesta (makro kosmos). Dalam pandangan kaum eksistensialis, setiap entitas bersifat murni sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk merealisasikan segala potensinya.

3.                   Manusia merdeka dan bebas memilih
Ia memilih apa yang mungkin bisa diwujudkannya di antara seluruh kemungkinan yang diberikan kepadanya. Ketika memilih manusia berani menempuh resiko karena ia bisa masuk dalam kesuksesan dan kegagalan.

4.                         Eksistensi dan nihil eksistensi 
 Resiko dan bahaya yang terus menerus mengancam alam eksistensi menjadikan manusia merasa nihilisme. Nihilisme adalah unsur substansial dalam alam eksistensi dan ketidaan menyingkapkan dirinya pada keadaan gelisah dalam diri sendiri.9

            Tulisan Jean Paul Sartre (1905-1980), menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Sartre (Parkay. 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan / eksistensi ada pada individu seorang, tidak ada pada sistem keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya, menurut Sartre, “Eksistensi mendahului Esensi … terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu, menentukan dirinya sendiri”. 
            Menurut Parkay (1998), terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat Theistik (ber-Tuhan) dan yang kedua bersifat Atheistik.10

1.      REALITAS
Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat Spekulatif dan filsafat Skeptis. Filsafat Spekulatif menjelaskan tentang hal yang fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi, pengalaman ini tidak banyak berpengaruh terhadap diri individu. Filsafat Skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah sementara.
Eksistensialisme menolak kedua pandangan filsafat di atas. Ia menolak pandangan spekulatif dengan mengemukakan pandangannya, bahwa manusia dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah yang kita alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.11  
Pemikiran ini memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan mereka dapat digolongkan filsafat eksistensialisme, yaitu:
1.      Motif pokok dari filsafat eksistensialisme yaitu apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanitis.
2.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan.
3.      Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakekatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih terhadap sesama manusia.
4.      Eksistensialisme memberikan tekanan pada pengalaman kongkrit, pengalaman yang eksistensial.12

2.      PENGETAHUAN
Teori pengetahuan Eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda dan peristiwa. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolahbukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikanalat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
 
3.      NILAI
Pemahaman Eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik merupakn yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri dan mungkin juga untuk suatu tujuan.
   
4.      PENDIDIKAN
Eksistensialisme sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Sikun Pribadi (1971), mengemukakan bahwa Eksistensialisme sangat erat hubungannya dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan Eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan dilakukan oleh manusia.

A.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya. 13
Eksistensialisme menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh sianak didik, tetapi yang lebih penting ialah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.14  

B.     Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.

C.     Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Marin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan “engkau”.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak disukainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

D.    Peranan Guru
Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang fiosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita, jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan ide-ide yang dimiliki siswa dan mengajukan ide-ide lain kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. 
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berfikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan Eksistensialisme. Siswa memiliki hak menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum, di mana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power (1982), mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan
2.      Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi
3.      Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia, kebebasan memiliki aturan-aturan.
4.      Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.      Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apa pun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.15

C.    Penutup / Kesimpulan



Dalam pemikiran dunia Islam, paham qadariyah juga berpendapat bahwa manusia bebas berkehendak dan bebas untuk berbuat sekehendaknya, sedangkan Tuhan hanya akan mengizinkan sesuai dengan keinginan manusia itu sendiri.
Eksistensialisme adalah filsafat yang menitikberatkan pada manusia, karena manusia adalah subjek sekaligus objek yang menjadi kajian dalam aliran ini. Alam sekitar tidak akan berarti tanpa adanya manusia. Oleh karena itu aliran ini juga mengkaji manusia sebagai objek pengembangan.
Aliran eksistensialisme yang dipahami sebagai sebuah filsafat pengembangan sumber daya manusia memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara keunggulannya adalah eksistensialisme memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan kemanusiaannya, daya pikir dan seluruh potensinya. Dalam hal ini manusia tidak akan ada artinya selama ia tidak mengembangkan diri dan berpacu untuk belajar, meneliti dan mengembangkan alam dengan seluruh kemampuannya.
Sedangkan kelemahan aliran ini adalah terlalu mengandalkan kemampuan diri sendiri dan kurang percaya akan adanya pencipta. 








الحمد لله رب العالمين
















DAFTAR PUSTAKA





Farid-Ismail, F. (2003). Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. Yogjakarta: IRCiSoD.


Tafsir, A. (2003). Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya


Sadulloh, U. (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta


M. Dagun, S. (1990). Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta


Hendrik-Rapar, J. (1996). Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius







































1 Fuad Farid Ismail, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, h. 121-122
2 Ibid, h. 121-122
3 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, h. 219
4 Fuad Farid Ismail, Op. Cit, h. 122-123
5 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2003,  h. 133 
6 Ibid, h. 135
7 Ahmad Tafsir, Op. Cit, h. 222
8 Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 15-16
9 Fuad Farid Ismail, Op. Cit, h. 124
10 Uyoh Sadulloh, Op. Cit, h. 133-134
11 Ibid,  h. 134-135
12 Ibid, h. 135-136
13 Ibid, h. 136-137
14 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius,  Yogyakarta, 1996,  h. 83
15 Uyoh Sadulloh, Op. Cit, h. 136-141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar