Aliran
Eksistensialisme
A. Pendahuluan
Filsafat hadir dari suatu krisis. Krisis berarti penemuan. Apabila
terjadi krisis, biasanya orang meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan
mencoba apakah ia tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari
suatu krisis ke krisis lain. Ini berarti manusia berfilsafat meninjau kembali
dirinya. Dalam filsafat eksistensi, manusia tegas-tegas dijadikan tema sentral.1
Wujud manusia yang dikaji oleh aliran eksistensialisme bukanlah esensi
yang kita rasionalisasikan, namun eksistensinya, karena realitas manusia pada
masa kini dihempas oleh berbagai krisis dan dikelilingi oleh berbagai
persoalan.2
Sifat materialisme ternyata merupakan dorongan lahirnya aliran
eksistensialisme. Maksud dari eksistensi yaitu cara seseorang berada di dunia.
Kata “berada” pada manusia tidak sama dengan “beradanya” pohon atau batu.
Manusia berada di dunia, manusia menyadari dirinya berada di dunia.
Materialisme memandang keberadaan manusia sama dengan keberadaan benda lain,
seperti batu, tanah, pohon dan lain-lain. Artinya manusia hanya sebagai materi
yang tidak lebih dari benda-benda lain di luar manusia. Di sinilah letak
perbedaan tajam antara materialisme dengan eksistensialisme.3
Aliran eksistensialisme menyatakan, cara berada manusia dengan benda lain
tidaklah sama. Manusia berada di dunia, ayam juga berada di dunia. Akan tetapi,
cara berada keduanya tidaklah sama. Manusia berada di dunia, ia mengalami
beradanya di dunia, manusia menyadari dirinya berada di dunia, menghadapi dunia
dan mengerti apa yang dihadapi.
Di manakah letak kesalahan materialisme dalam pandangan eksistensialisme?
Rene Le Senne mengatakan, bahwa kesalahan materialisme ada pada prisip
detotalisasi, artinya mengingkari manusia sebagai wujud dari keseluruhan.
Pandangan materialisme belum mencakup arti manusia secara keseluruhan.
B. Pembahasan
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi
yang berasal dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena
itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri
dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya “ada”. Ia dapat
meragukan segala sesuatu, tapi satu hal yang pasti yaitu bahwa dirinya “ada”.
Dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu di sekitarnya dihubungkan dengan
dirinya, seperti mejaku, kursiku, temanku dan lain sebagainya. Dalam dunia,
manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatan. Ia mengalami dirinya
sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya seolah-olah keluar dari dirinya
sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang di luar dirinya.
Bereksistensi seperti ini oleh Heidegger disebut Daisein, yang
berasal dari kata “Da” (di sana) dan “Sein” (berada), sehingga
kata ini berarti berada di sana. Dalam hal ini ada empat tokoh pemikiran
eksistensialisme, yaitu: pemikiran Martin Heidegger, Jean-Paul Satre, Karl
Jasper dan Gabriel Marcel.
Eksistensialisme terbagi kepada dua cabang utama, yaitu:
1.
Eksestensialisme murni yaitu: bebas dari
keyakinan yang diwariskan
2. Eksistensialisme terikat yaitu: yang berhubungan dengan suatu keyakinan tertentu.4
Filsafat eksistensialisme
memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Filsafat lain berhungan dengan
pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum
pada semua realitas, keberadaan manusia dan nilai. Di sisi lain,
eksistensialisme memberi individu suatu jalan berfikir mengenai kehidupan, apa
maknanya bagi saya, dan apa yang benar untuk saya. Secara umum,
eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia,
dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk
hakekat manusia atau realitas.5
Eksistensialisme berasal dari
pemikiran Soren Keirkegaard (Denmark, 1813-1855). Inti masalah yang menjadi
pemikiran eksistensialisme adalah sekitar: Apa kehidupan manusia ? Apa
pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis” (berada) dari
manusia.6
Sebagai tokoh eksistensialisme,
Keirkegaard mengatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku
umum”, tetapi sebagai “aku individu” yang sama sekali unik dan tidak
dapat dijabarkan. Dengan demikian, Keirkegaard mengenalkan istilah “eksistensi”.
Hanya manusia yang mampu bereksistensi. Pengaruh Keirkegaard belum tampak
ketika ia masih hidup, karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark.
Pada akhir abad ke-19 karya-karyanya
mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang paling
penting untuk filsafat abad ke-20 yang disebut eksistensialisme. Karena itulah
Keirkegaard sering disebut bapak filsafat eksistensialisme.7
Gerakan eksistensialisme
mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat
yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya
adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia.
Cara beradanya manusia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda
tidak sadar akan keberadaannya, yang satu tidak berinteraksi dengan yang
lainnya. Sedangkan manusia, ia bersama dengan orang lain dan bersama dengan
benda-benda di sekitarnya. Benda-benda itu akan menjadi berarti karena manusia.
Analisa filsafat eksistensialisme
membedakan cara berada manusia dengan cara berada benda dengan menggunakan
istilah bahwa benda-benda itu “berada”, sedangkan manusia “ber-eksistensi”.8
Karakteristik umum yang disepakati
oleh para filsuf eksistensialisme adalah:
1.
Esistensi
mendahului Esensi
Pengertian in bermakna bahwa manusia
ditemukan, setelah itu ia mengakui sisi keistimewaan dan sifat-sifatnya. Oleh
karena itu mereka menyebutkan bahwa manusia bukanlah eksistensi yang sempurna,
bahkan manusia adalah tendensi (kecendrungan), usaha keras dan rencana.
Tegasnya bahwa kaum eksistensialis dinamakan dengan “pendakian”.
2.
Eksistensi
Manusia
Eksistensi
yang diperhatikan oleh filsafat eksistensialisme pada tingkat pertama adalah
eksistensi manusia. Lawannya adalah zat manusia, yaitu tegasnya wujud alam
semesta (makro kosmos). Dalam pandangan kaum eksistensialis, setiap entitas
bersifat murni sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk merealisasikan segala
potensinya.
3.
Manusia
merdeka dan bebas memilih
Ia
memilih apa yang mungkin bisa diwujudkannya di antara seluruh kemungkinan yang
diberikan kepadanya. Ketika memilih manusia berani menempuh resiko karena ia
bisa masuk dalam kesuksesan dan kegagalan.
4.
Eksistensi
dan nihil eksistensi
Resiko dan bahaya yang terus menerus mengancam
alam eksistensi menjadikan manusia merasa nihilisme. Nihilisme adalah unsur
substansial dalam alam eksistensi dan ketidaan menyingkapkan dirinya pada
keadaan gelisah dalam diri sendiri.9
Tulisan Jean Paul Sartre
(1905-1980), menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan
eksistensialisme yang luas. Menurut Sartre (Parkay. 1998), setiap individu
terlebih dahulu hadir kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai.
Tugas menentukan makna keberadaan / eksistensi ada pada individu seorang, tidak
ada pada sistem keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan
pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan
siapa kita adanya. Selanjutnya, menurut Sartre, “Eksistensi mendahului
Esensi … terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya
setelah itu, menentukan dirinya sendiri”.
Menurut Parkay (1998), terdapat dua
aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat Theistik (ber-Tuhan)
dan yang kedua bersifat Atheistik.10
1. REALITAS
Menurut
eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat Spekulatif
dan filsafat Skeptis. Filsafat Spekulatif menjelaskan tentang hal yang
fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih
dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi, pengalaman ini
tidak banyak berpengaruh terhadap diri individu. Filsafat Skeptik
berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun
yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika
adalah sementara.
Eksistensialisme
menolak kedua pandangan filsafat di atas. Ia menolak pandangan spekulatif
dengan mengemukakan pandangannya, bahwa manusia dapat menemukan kebenaran yang
fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah yang kita alami. Realitas
adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus
menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi
manusia.11
Pemikiran ini memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan mereka
dapat digolongkan filsafat eksistensialisme, yaitu:
1.
Motif pokok dari filsafat eksistensialisme yaitu apa
yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat
humanitis.
2.
Bereksistensi harus diartikan secara dinamis.
Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan
merencanakan.
3.
Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas
yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakekatnya manusia
terikat pada dunia sekitarnya, terlebih terhadap sesama manusia.
2. PENGETAHUAN
Teori
pengetahuan Eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda dan peristiwa. Pengetahuan
manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di
sekolahbukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan
untuk dapat dijadikanalat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di
sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu
disiplin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran.
Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam
kebenaran.
3. NILAI
Pemahaman
Eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya, melainkan merupakan suatu
potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik merupakn yang
paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus
menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Tindakan moral mungkin
dilakukan untuk moral itu sendiri dan mungkin juga untuk suatu tujuan.
4. PENDIDIKAN
Eksistensialisme
sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap
individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung
jawab terhadap nasibnya. Sikun Pribadi (1971), mengemukakan bahwa
Eksistensialisme sangat erat hubungannya dengan pendidikan, karena keduanya
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian dan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan Eksistensialisme adalah “keberadaan”
manusia, sedangkan pendidikan dilakukan oleh manusia.
A. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan
semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan
perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya. 13
Eksistensialisme
menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik
dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial
mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para
pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada
apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh sianak didik, tetapi yang lebih
penting ialah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik
eksistensialis menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.14
B. Kurikulum
Kaum
eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi
pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan
personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum
ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas
dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan
pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka
sendiri.
C. Proses Belajar Mengajar
Menurut
Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan
dari pandangan Marin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan
pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang
lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan “engkau”.
Dalam
proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan.
Untuk menjadikan hubungan antara guru dan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi
guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan
antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan
sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak disukainya, melainkan merupakan
suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
D. Peranan Guru
Maxine
Greene (Parkay, 1998), seorang fiosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan
pada eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita, jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan.
Guru
hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu
dialog. Guru menanyakan ide-ide yang dimiliki siswa dan mengajukan ide-ide lain
kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa
akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih
oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama
belajar, bukan penonton.
Guru
harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa
mampu berfikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan. Diskusi merupakan metode
utama dalam pandangan Eksistensialisme. Siswa memiliki hak menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum, di mana para siswa mampu
berdialog dengan teman-temannya dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa
dalam pemenuhan dirinya.
Power
(1982), mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme
sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Memberi
bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan
2. Status siswa
Makhluk
rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya. Suatu
komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi
3. Kurikulum
Yang
diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi
kebebasan manusia, kebebasan memiliki aturan-aturan.
4. Peranan guru
Melindungi
dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok
lusa mungkin menjadi murid.
5. Metode
Tidak
ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apa pun yang dipakai
harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.15
C. Penutup / Kesimpulan
Dalam pemikiran dunia Islam, paham
qadariyah juga berpendapat bahwa manusia bebas berkehendak dan bebas untuk
berbuat sekehendaknya, sedangkan Tuhan hanya akan mengizinkan sesuai dengan
keinginan manusia itu sendiri.
Eksistensialisme adalah filsafat yang menitikberatkan pada manusia,
karena manusia adalah subjek sekaligus objek yang menjadi kajian dalam aliran
ini. Alam sekitar tidak akan berarti tanpa adanya manusia. Oleh karena itu
aliran ini juga mengkaji manusia sebagai objek pengembangan.
Aliran eksistensialisme yang dipahami sebagai sebuah filsafat
pengembangan sumber daya manusia memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara
keunggulannya adalah eksistensialisme memberikan kebebasan kepada manusia untuk
mengembangkan kemanusiaannya, daya pikir dan seluruh potensinya. Dalam hal ini
manusia tidak akan ada artinya selama ia tidak mengembangkan diri dan berpacu
untuk belajar, meneliti dan mengembangkan alam dengan seluruh kemampuannya.
Sedangkan kelemahan aliran ini adalah terlalu mengandalkan kemampuan diri
sendiri dan kurang percaya akan adanya pencipta.
الحمد لله رب العالمين
DAFTAR PUSTAKA
Farid-Ismail, F. (2003). Cepat
Menguasai Ilmu Filsafat. Yogjakarta: IRCiSoD.
Tafsir, A. (2003). Filsafat
Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya
Sadulloh, U. (2003). Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
M. Dagun, S. (1990). Filsafat
Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta
Hendrik-Rapar, J. (1996). Pengantar
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
1 Fuad Farid Ismail, Cepat
Menguasai Ilmu Filsafat, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, h. 121-122
2 Ibid, h. 121-122
3 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, h. 219
4 Fuad Farid Ismail, Op. Cit,
h. 122-123
6 Ibid, h. 135
7 Ahmad Tafsir, Op. Cit,
h. 222
8 Save M. Dagun, Filsafat
Eksistensialisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 15-16
9 Fuad Farid Ismail, Op. Cit,
h. 124
10 Uyoh Sadulloh, Op. Cit,
h. 133-134
12 Ibid, h. 135-136
13 Ibid, h. 136-137
15 Uyoh Sadulloh, Op. Cit,
h. 136-141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar