Senin, 08 April 2013

Budaya Kerja

BUDAYA KERJA
Yusnimar Yusri
1.      Budaya Kerja
Salah satu hal yang mendorong kemajuan suatu bangsa atau suatu peradaban adalah membudayakan etos kerja yang tinggi pada bangsa tersebut. Etos kerja merupakan semangat dan menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan investasi untuk memperbaiki kapasitas produktif. Dengan manajemen yang baik organisasi akan memiliki kekuatan kompetitif sehingga sumber-sumber keberhasilan menjadi lebih berguna.
Budaya kerja yang terbentuk dalam organisasi memang mempengaruhi unjuk kerja organiasi, tetapi sifatnya bukanlah suatu persaingan atau mencari keuntungan atau jabatan dalam organisasi. Pada dasarnya semua jenis organisasi memiliki budaya kerja yang ikut mempengaruhi tingkah laku onggota, yang senantiasa dikembangkan secara informal dalam organisasi. Jadi, bagi para anggota organisasi yang penting adalah saling berkomunikasi antar anggota yang sama minat, sama pekerjaan, sama lokasi kerja dan enak berdiskusi tentang berbagai hal. Itulah kebiasaan dan budaya kerja mereka.[1]
A.    Moral Kerja
Moral kerja adalah kesepakatan batiniah yang muncul dari dalam diri seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan organisasi. Moral, meskipun sifatnya sangat abstrak, akan tetapi sangat esensial dalam dunia kerja. Moral organisasi adalah kondisi mental individu atau kelompok yang mempengaruhi aktifitas manusia dan menciptakan keberagaman manajemen.
Moral kerja (working morale) dapat dibedakan menjadi dua dimensi yaitu moral kerja tinggi (high morale) dan moral kerja rendah (low morale). Moral kerja yang tinggi dari para pekerja atau karyawan akan membawa sumbangan positif bagi organisasinya, sebaliknya moral kerja rendah membawa organisasi kepada kemerosotan dan kehancuran.
Rendahnya moral kerja karyawan menyebabkan organisasi akan hancur (collapse) atau mengalami entropi (entropy), paling tidak berada pada kondisi monoton atau status quo. Manusia yang mempunyai moral kerja tinggi mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan manusia dewasa. Moral kerja yang tinggi dan moral kerja yang rendah tidak berbeda pada kondisi konstan. Moral kerja berada pada satu rentangan yang dapat bergerak dari suasana batin positif ke suasana batin negatif dan demikian sebaliknya.
Keberagaman manajemen dalam organisasi akan dipengaruhi oleh banyak aspek antara lain motivasi, sikap/prilaku, moral kerja karyawan dan lain-lain. Unsur-unsur tersebut saling berpengaruh dan merupakan sebuah sistem yang sangat menentukan tercapainya tujuan yang diinginkan. 
B.     Aspek-Aspek Kinerja
Malayu S. P. Hasibuan mengemukakan aspek-aspek yang dinilai kinerja mencakup kesetiaan, hasil kerja, kejujuran, kedisiplinan, kreatifitas, kerjasama, kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapan dan tanggungjawab.
Sedangkan Husein Umar membagi aspek-aspek kinerja sebagai berikut mutu pekerjaan, kejujuran karyawan, inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama, keandalan, pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab dan pemanfaatan waktu kerja.
Adapun aspek-aspek standar kinerja terdiri dari aspek kuantitatif yang meliputi, proses kerja dan kondisi pekerjaan, waktu yang digunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan, jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan dan jumlah serta jenis pemberian pelayanan dalam bekerja dan aspek kualitatif meliputi ketetapan kerja dan kualitas pekerjaan, tingkat kemampuan dalam bekerja, kemampuan menganalisis data dan informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan dan kemampuan mengevaluasi.  

 C.    Karakter-Karakter Individu dengan Kinerja Tinggi
Individu yang memiliki motivasi tinggi untuk mencapai kinerja dapat dibedakan dalam empat ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Individu yang senang bekerja dan menghadapi tantangan yang moderat.
2)      Individu memperoleh sedikit kepuasan jika pekerjaannya sangat mudah dan jika pekerjaannya terlalu sulit cenderung kecewa.
3)      Individu yang senang memperoleh umpan balik yang konkret mengenai keberhasilan pekerjaannya.
4)      Individu yang cenderung tidak menyenangi tugas tersebut jika tidak mencapai prestasi yang sesuai dengan yang diinginkan.
5)      Individu yang lebih senang bertanggung jawab secara personal atas tugas yang dikerjakan.
6)      Individu yang puas dengan hasil bila dilakukan sendiri.
D.    Langkah-Langkah Peningkatan Kinerja
Dalam rangka peningkatan kinerja, terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan, di antaranya adalah: (1) mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja, (2) mengenal kekurangan dan tingkat keseriusan, (3) mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan, baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiri, (4) mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan tersebut, (5) melakukan rencana tindakan, (6) melakukan evaluasi, apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum.  


[1] M. Dachnel Kamars. (2005). Administrasi Pendidikan Teori dan Praktek. UPI Press. Padang. Hlm. 65

Sabtu, 06 April 2013

Evaluasi Kurikulum dan Hasil Belajar


EVALUASI KURIKULUM DAN HASIL BELAJAR 
 


Evaluasi merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan (evaluand). Sesuatu yang dipertimbangkan itu bisa berupa benda, orang, kegiatan, keadaan atau suatu kesatuan tertentu.
 Ada dua hal yang menjadi karakteristik evaluasi. Pertama, evaluasi merupakan suatu proses atau tindakan, kedua, proses tersebut dilakukan untuk memberi makna atau nilai. Artinya, berdasarkan pertimbangan hasil evaluasi, apakah sesuatu itu mempunyai nilai atau tidak. 
Kurikulum dan hasil belajar adalah perencanaan pengembangan kompetensi siswa secara keseluruhan yang memuat kompetensi, hasil belajar dan indikator. Kurikulum dan hasil belajar memberikan suatu rentang kompetensi dan hasil belajar yang bermanfaat bagi guru untuk menentukan apa yang harus dipelajari siswa, bagaimana mereka seharusnya dinilai (dievaluasi) dan bagaimana pembelajaran  disusun. Kurikulum dan hasil belajar mengharuskan siswa dapat menggali, memahami, menghargai dan melakukan sesuatu sebagai hasil belajar, baik yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah.


1.        Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah segala pengalaman pendidikan yang diberikan oleh sekolah kepada seluruh anak didiknya, baik dilakukan dalam sekolah maupun di luar sekolah. Pengalaman anak didik di sekolah dapat diperoleh melalui berbagai kegiatan pendidikan antara lain: mengikuti pelajaran di sekolah, praktek, ketrampilan, latihan-latihan olahraga dan kesenian serta kegiatan karya wisata atau praktek dalam laboratorium di sekolah.
Kurikulum biasa disebut orang dengan “rencana pendidikan dan pengajaran” atau lebih singkat lagi dengan “program pendidikan”. Masih banyak diantara kaum pendidik (guru) yang berpandangan tradisional mengenai kurikulum ini. Kurikulum terdiri dari mata pelajaran tertentu yang bertujuan menyampaikan kebudayaan lampau sejumlah pengetahuan yang harus diajarkan kepada anak-anak, karena seringnya pengetahuan ini diambil dari buku-buku pelajaran tertantu yang dipandang baik, maka kurikulum ditentukan oleh buku pelajaran.
Jadi, jelaslah pengertian kurikulum serupa ini membatasi pengalaman anak kepada situasi belajar di dalam kelas dan tidak menghiraukan pengalaman-pengalaman edukatif di luar kelas.1 Kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program belajar.
 Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori dan praktek pendidikan. Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar, bermakna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Kurikulum seperti ini sering dihubungkan dengan usaha memperoleh ijazah, sedangkan ijazah menggambarkan kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah.
 Sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai anak didik, dalam proses perencanaannya, kurikulum memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.        Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi.
2.        Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan hal seperti: tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran dan sebagainya.
3.        Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan pada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran.

Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktifitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga, bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.
Seperti yang dinyatakan oleh Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), kurikulum pada dasarnya merupakan sebuah perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
Sebagai suatu rencana, kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan, di samping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan.

2.                  Hakekat Evaluasi Kurikulum dan Hasil Belajar
a.         Evaluasi Kurikulum
Evaluasi atau penilaian kurikulum merupakan salah satu bagian dari evalusi pendidikan, yang memusatkan perhatian kepada program pendidikan untuk anak didik. Lingkup evaluasi program pendidikan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pengembangan program. Kurikulum sebagai program pendidikan atau program belajar untuk siswa, memerlukan penilaian sebagai bahan balikan dan penyempurnaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, anak didik, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil penilaian sangat bermanfaat bagi para pengambil keputusan dalam melakukan perubahan kurikulum, baik secara konseptual maupun struktural.
Evaluasi pada dasarnya adalah proses penentuan nilai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Dalam proses tersebut tercakup usaha mencari dan mengumpulkan informasi yang diperlukan sebagai dasar dalam menentukan nilai sesuatu yang menjadi objek evaluas, seperti: program, prosedur, usul, cara, pendekatan, model kerja, hasil program dan lain-lain. Stufflebeam memandang evaluasi sebagai suatu proses menentukan, mencari, dan menyajikan informasi yang diperlukan untuk menentukan alternatif keputusan.
Ada tiga hal penting yang harus tercakup dalam proses evaluasi yaitu:
a.         Menetapkan suatu nilai atau judgment,
Judgment atau penentuan nilai baik-buruk didasarkan kepada pertimbangan objektif dan subjektif.
b.        Adanya suatu kriteria,
Kriteria yang sering digunakan yaitu kriteria internal dan eksternal. Kriteria internal adalah: kriteria yang dijabarkan dari program itu sendiri, seperti tujuan, isi, strategi dan lain-lain. Sedangkan kriteria eksternal adalah: kriteria yang diperoleh dari luar program, seperti kebijaksanaan, analisis untung rugi, produktifitas program, manfaatnya dan lain-lain.
c.         Adanya deskripsi program sebagai objek penilaian.
Bisa dalam lingkup yang luas, bisa terbatas. Lingkup yang luas misalnya, program pendidikan suatu sekolah, program untuk suatu bidang studi. Lingkup yang terbatas seperti, program belajar mengajar, penetaran guru, bimbingan atau yang bersifat jangka pendek.
Ketiga aspek di atas merupakan keharusan adanya dalam suatu tindakan penilaian. Ada empat kategori penilaian program, yaitu:
1.        Penilaian Konteks
2.        Penilaian Masukan / Input
3.        Penilaian Proses
4.        Penilaian Hasil / Output
Berdasarkan pengertian dan lingkup penilaian di atas, maka penilaian kurikulum adalah penilaian program pendidikan/ belajar bagi siswa, baik dalam lingkup yang luas maupun terbatas. Tujuan dari penilaian kurikulum yaitu: (1) mengambil keputusan tentang penetapan pilihan dan adaptasi kurikulum sebagai program belajar untuk siswa. (2), menyempurnakan kurikulum itu sendiri, terutama pelaksanaan, pembinaan, dan pengembangan lebih lanjut

b.    Hasil Belajar
Evaluasi (penilaian) hasil belajar siswa merupakan salah satu kegiatan manajemen kurikulum. Evaluasi berguna dan bertujuan untuk mendapatkan umpan balik (feed back) bagi pendidik tentang sejauh mana tujuan instruksional (pengajaran) telah tercapai, sehingga dapat diketahui apakah guru masih harus memperbaiki langkah-langkah yang ia tempuh dalam kegiatan mengajar.
Bagi siswa, hasil evaluasi akan menunjukkan kepada mereka betapa keberhasilan mereka dalam kegiatan belajar yang pernah mereka lakukan. Secara garis besar, evaluasi belajar di sekolah dapat dibedakan atas:
1.        Tes Formatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang dilakukan setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari
2.          Tes Sumatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Misalnya setelah satu caturwulan atau satu semester.

Tes hasil belajar berguna membantu siswa dalam mengambil keputusan tentang rencana pendidikan dan membantu sekolah menilai berbagai aspek kurikulum yang menggambarkan kemajuan belajar siswa.
Kurikulum dan hasil belajar merupakan salah satu komponen kurikulum berbasis kompetensi yang memuat kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator. Kompetensi dasar adalah, pernyataan yang diharapkan dapat diketahui, disikapi dan dilakukan siswa. Hasil belajar adalah, pernyataan kemampuan siswa yang diharapkan dalam menguasai sebagian atau seluruh kompetensi yang ditetapkan. Indikator adalah, kompetensi dasar secara spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
Menurut Mc. Ashan, kompetensi adalah suatu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai prilaku kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
Dari pendapat ini, maka jelaslah suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap dan apresiasi, artinya tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gordon (1988), menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi, yaitu:
1.      Pengetahuan (knowledge)
2.      Pemahaman (understanding)
3.      Ketrampilan (skill)
4.      Nilai (value)
5.      Sikap (attitude)
6.      Minat (interest)

Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola prilaku.
Hasil belajar siswa diklasifikasikan ke dalam tiga ranah (domain), yaitu:
1.        Ranah (domain) Kognitif, pengetahuan yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika.
2.        Ranah (domain) Afektif, sikap dan nilai yang mencakup kecerdasan antar pribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional
3.        Ranah (domain) Psikomotor, ketrampilan yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal.

Cara penilaian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa harus dirancang dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1.        Mengacu pada kurikulum
2.        Bersifat adil bagi seluruh siswa
3.        Dapat memberi informasi yang lengkap sebagai umpan balik
4.        Bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya
5.        Dilaksanakan tanpa menekan siswa atau dalam suasana yang menyenangkan.
6.        Diadministrasi secara tepat dan efesien

Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi serta penilaian program. Kurikulum berbasis kompetensi akan berhasil dilaksanakan jika diterapkan pola belajar aktif karena pola ini mampu mengembangkan seluruh kompetensi secara optimal. Jika pola ini diterapkan, beragam cara dan alat penilaian harus pula diterapkan, terutama cara-cara unjuk kerja, produk, portopolio dan tingkah laku.

C.           PENUTUP
Aspek-aspek evaluasi terbagi kedalam tiga bagian, yaitu: (1) Aspek Kognitif, (2) Aspek Afektif, (3) Aspek Psikomotor.
Evaluasi kurikulum dimaksudkan menilai suatu kurikulum sebagai program pendidikan untuk menentukan efisiensi, efektifitas, relefansi, dan produktifitas program dalam mencapai tujuan pendidikan.
Hasil belajar merupakan gambaran kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Dengan tindakan penilaian hasil belajar ini dapat diketahui tingkat penguasaan tujuan pengajaran oleh siswa dalam bentuk hasil belajar yang dicapainya dan dapat memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar bagi siswa.


DAFTAR PUSTAKA


B. Suryosubroto. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta


Juhana, A. Tabrani Rusyan. (2003). Konsep dan Strategi Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara


Nana Sudjana. (2002). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algesindo


Oemar Hamalik. (2001). Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: Mandar Maju


Tim JSIT Indonesia. (2006). Sekolah Islam terpadu, Konsep dan Aplikasinya. Bandung: Syaamil Cipta Media


Wina Sanjaya. (2006). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana


















 






Aliran Eksistensialisme


Aliran Eksistensialisme

A.    Pendahuluan


Filsafat hadir dari suatu krisis. Krisis berarti penemuan. Apabila terjadi krisis, biasanya orang meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari suatu krisis ke krisis lain. Ini berarti manusia berfilsafat meninjau kembali dirinya. Dalam filsafat eksistensi, manusia tegas-tegas dijadikan tema sentral.1
Wujud manusia yang dikaji oleh aliran eksistensialisme bukanlah esensi yang kita rasionalisasikan, namun eksistensinya, karena realitas manusia pada masa kini dihempas oleh berbagai krisis dan dikelilingi oleh berbagai persoalan.2 
Sifat materialisme ternyata merupakan dorongan lahirnya aliran eksistensialisme. Maksud dari eksistensi yaitu cara seseorang berada di dunia. Kata “berada” pada manusia tidak sama dengan “beradanya” pohon atau batu. Manusia berada di dunia, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Materialisme memandang keberadaan manusia sama dengan keberadaan benda lain, seperti batu, tanah, pohon dan lain-lain. Artinya manusia hanya sebagai materi yang tidak lebih dari benda-benda lain di luar manusia. Di sinilah letak perbedaan tajam antara materialisme dengan eksistensialisme.3
Aliran eksistensialisme menyatakan, cara berada manusia dengan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, ayam juga berada di dunia. Akan tetapi, cara berada keduanya tidaklah sama. Manusia berada di dunia, ia mengalami beradanya di dunia, manusia menyadari dirinya berada di dunia, menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapi.
Di manakah letak kesalahan materialisme dalam pandangan eksistensialisme? Rene Le Senne mengatakan, bahwa kesalahan materialisme ada pada prisip detotalisasi, artinya mengingkari manusia sebagai wujud dari keseluruhan. Pandangan materialisme belum mencakup arti manusia secara keseluruhan.    

B.            Pembahasan

Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi yang berasal dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya “ada”. Ia dapat meragukan segala sesuatu, tapi satu hal yang pasti yaitu bahwa dirinya “ada”. Dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu di sekitarnya dihubungkan dengan dirinya, seperti mejaku, kursiku, temanku dan lain sebagainya. Dalam dunia, manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatan. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang di luar dirinya.
Bereksistensi seperti ini oleh Heidegger disebut Daisein, yang berasal dari kata “Da” (di sana) dan “Sein” (berada), sehingga kata ini berarti berada di sana. Dalam hal ini ada empat tokoh pemikiran eksistensialisme, yaitu: pemikiran Martin Heidegger, Jean-Paul Satre, Karl Jasper dan Gabriel Marcel.
Eksistensialisme terbagi kepada dua cabang utama, yaitu:
1.                  Eksestensialisme murni yaitu: bebas dari keyakinan   yang diwariskan

2.                  Eksistensialisme terikat yaitu: yang berhubungan dengan suatu keyakinan tertentu.4


Filsafat eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Filsafat lain berhungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia dan nilai. Di sisi lain, eksistensialisme memberi individu suatu jalan berfikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, dan apa yang benar untuk saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia, dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.5
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Keirkegaard (Denmark, 1813-1855). Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar: Apa kehidupan manusia ? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis” (berada) dari manusia.6  
Sebagai tokoh eksistensialisme, Keirkegaard mengatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individu” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan. Dengan demikian, Keirkegaard mengenalkan istilah “eksistensi”. Hanya manusia yang mampu bereksistensi. Pengaruh Keirkegaard belum tampak ketika ia masih hidup, karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark.
Pada akhir abad ke-19 karya-karyanya mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang paling penting untuk filsafat abad ke-20 yang disebut eksistensialisme. Karena itulah Keirkegaard sering disebut bapak filsafat eksistensialisme.7
Gerakan eksistensialisme mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia. Cara beradanya manusia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, yang satu tidak berinteraksi dengan yang lainnya. Sedangkan manusia, ia bersama dengan orang lain dan bersama dengan benda-benda di sekitarnya. Benda-benda itu akan menjadi berarti karena manusia.
Analisa filsafat eksistensialisme membedakan cara berada manusia dengan cara berada benda dengan menggunakan istilah bahwa benda-benda itu “berada”, sedangkan manusia “ber-eksistensi”.8
Karakteristik umum yang disepakati oleh para filsuf eksistensialisme adalah:
1.                     Esistensi mendahului Esensi
 Pengertian in bermakna bahwa manusia ditemukan, setelah itu ia mengakui sisi keistimewaan dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu mereka menyebutkan bahwa manusia bukanlah eksistensi yang sempurna, bahkan manusia adalah tendensi (kecendrungan), usaha keras dan rencana. Tegasnya bahwa kaum eksistensialis dinamakan dengan “pendakian”.

2.                     Eksistensi Manusia
Eksistensi yang diperhatikan oleh filsafat eksistensialisme pada tingkat pertama adalah eksistensi manusia. Lawannya adalah zat manusia, yaitu tegasnya wujud alam semesta (makro kosmos). Dalam pandangan kaum eksistensialis, setiap entitas bersifat murni sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk merealisasikan segala potensinya.

3.                   Manusia merdeka dan bebas memilih
Ia memilih apa yang mungkin bisa diwujudkannya di antara seluruh kemungkinan yang diberikan kepadanya. Ketika memilih manusia berani menempuh resiko karena ia bisa masuk dalam kesuksesan dan kegagalan.

4.                         Eksistensi dan nihil eksistensi 
 Resiko dan bahaya yang terus menerus mengancam alam eksistensi menjadikan manusia merasa nihilisme. Nihilisme adalah unsur substansial dalam alam eksistensi dan ketidaan menyingkapkan dirinya pada keadaan gelisah dalam diri sendiri.9

            Tulisan Jean Paul Sartre (1905-1980), menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Sartre (Parkay. 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan / eksistensi ada pada individu seorang, tidak ada pada sistem keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya, menurut Sartre, “Eksistensi mendahului Esensi … terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu, menentukan dirinya sendiri”. 
            Menurut Parkay (1998), terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat Theistik (ber-Tuhan) dan yang kedua bersifat Atheistik.10

1.      REALITAS
Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat Spekulatif dan filsafat Skeptis. Filsafat Spekulatif menjelaskan tentang hal yang fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi, pengalaman ini tidak banyak berpengaruh terhadap diri individu. Filsafat Skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah sementara.
Eksistensialisme menolak kedua pandangan filsafat di atas. Ia menolak pandangan spekulatif dengan mengemukakan pandangannya, bahwa manusia dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah yang kita alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.11  
Pemikiran ini memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan mereka dapat digolongkan filsafat eksistensialisme, yaitu:
1.      Motif pokok dari filsafat eksistensialisme yaitu apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanitis.
2.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan.
3.      Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakekatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih terhadap sesama manusia.
4.      Eksistensialisme memberikan tekanan pada pengalaman kongkrit, pengalaman yang eksistensial.12

2.      PENGETAHUAN
Teori pengetahuan Eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda dan peristiwa. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolahbukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikanalat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
 
3.      NILAI
Pemahaman Eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik merupakn yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri dan mungkin juga untuk suatu tujuan.
   
4.      PENDIDIKAN
Eksistensialisme sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Sikun Pribadi (1971), mengemukakan bahwa Eksistensialisme sangat erat hubungannya dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan Eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan dilakukan oleh manusia.

A.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya. 13
Eksistensialisme menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh sianak didik, tetapi yang lebih penting ialah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.14  

B.     Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.

C.     Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Marin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan “engkau”.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak disukainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

D.    Peranan Guru
Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang fiosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita, jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan ide-ide yang dimiliki siswa dan mengajukan ide-ide lain kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. 
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berfikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan Eksistensialisme. Siswa memiliki hak menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum, di mana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power (1982), mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan
2.      Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi
3.      Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia, kebebasan memiliki aturan-aturan.
4.      Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.      Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apa pun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.15

C.    Penutup / Kesimpulan



Dalam pemikiran dunia Islam, paham qadariyah juga berpendapat bahwa manusia bebas berkehendak dan bebas untuk berbuat sekehendaknya, sedangkan Tuhan hanya akan mengizinkan sesuai dengan keinginan manusia itu sendiri.
Eksistensialisme adalah filsafat yang menitikberatkan pada manusia, karena manusia adalah subjek sekaligus objek yang menjadi kajian dalam aliran ini. Alam sekitar tidak akan berarti tanpa adanya manusia. Oleh karena itu aliran ini juga mengkaji manusia sebagai objek pengembangan.
Aliran eksistensialisme yang dipahami sebagai sebuah filsafat pengembangan sumber daya manusia memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara keunggulannya adalah eksistensialisme memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan kemanusiaannya, daya pikir dan seluruh potensinya. Dalam hal ini manusia tidak akan ada artinya selama ia tidak mengembangkan diri dan berpacu untuk belajar, meneliti dan mengembangkan alam dengan seluruh kemampuannya.
Sedangkan kelemahan aliran ini adalah terlalu mengandalkan kemampuan diri sendiri dan kurang percaya akan adanya pencipta. 








الحمد لله رب العالمين
















DAFTAR PUSTAKA





Farid-Ismail, F. (2003). Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. Yogjakarta: IRCiSoD.


Tafsir, A. (2003). Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya


Sadulloh, U. (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta


M. Dagun, S. (1990). Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta


Hendrik-Rapar, J. (1996). Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius







































1 Fuad Farid Ismail, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, h. 121-122
2 Ibid, h. 121-122
3 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, h. 219
4 Fuad Farid Ismail, Op. Cit, h. 122-123
5 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2003,  h. 133 
6 Ibid, h. 135
7 Ahmad Tafsir, Op. Cit, h. 222
8 Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 15-16
9 Fuad Farid Ismail, Op. Cit, h. 124
10 Uyoh Sadulloh, Op. Cit, h. 133-134
11 Ibid,  h. 134-135
12 Ibid, h. 135-136
13 Ibid, h. 136-137
14 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius,  Yogyakarta, 1996,  h. 83
15 Uyoh Sadulloh, Op. Cit, h. 136-141